Cabang Pasuruan: Generasi Awal Kepengurusan NU di Daerah
- calendar_month 2 jam yang lalu
- visibility 56
- comment 0 komentar

Mungkin tak banyak yang tahu, jika awal mula berdirinya Nahdlatul Ulama, tak serta merta langsung mendirikan kepengurusan Cabang di berbagai daerah. Meski pada proses pendiriannya dihadiri oleh segenap ulama dari Jawa-Madura, akan tetapi butuh waktu dua tahun bagi Hadratusysyekh KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU, untuk merestui berdirinya Cabang NU di berbagai daerah.
Sebagaimana dikabarkan dalam Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) – media resmi pertama yang diterbitkan oleh Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO/ PBNU) – kepengurusan NU di tingkat cabang baru diinisiasi pada 14 Dzulhijah 1346 H atau sekitar sekitar 4 Mei 1928 oleh Hadratusyekh KH. Hasyim Asy’ari di Jombang (SNO, Nomor 9, Tahun I, Ramadan 1346 H). Dalam artikel tersebut tertulis demikian:
“Ing sak lebete sasi Dzulqaidah hadihis sanah, panjenenganipun Kiai Hasyim Tebuireng sanget hanggenipun haringka daya kados pundi wagedipun jam’iyah Nahdlatul Ulama hanggadai cabang nang pundi-pundi panggenan.”
[Di dalam bulan Dzulqaidah tahun ini, Kiai Hasyim Tebuireng mengupayakan segala tenaga agar bagaimana jam’iyah Nahdlatul Ulama memiliki cabang di berbagai tempat].
Dari titah Kiai Hasyim Asy’ari tersebut, kemudian berdiri sejumlah Cabang NU generasi awal. Yakni, kepengurusan NU di daerah yang berdiri sebelum Muktamar III NU di Surabaya (8-10 September 1928). Dari data yang bisa ditelusuri, setidaknya hanya ada delapan Cabang NU saja yang diinisiasi di masa awal tersebut.
Selain Jombang pada 14 Dzulhijah 1346/ 4 Mei 1928, juga ada Surabaya (10 Muharram 1347/ 28 Juli 1928). Kemudian, disusul oleh turba dari KH. Abdul Wahab Chasbullah beserta jajaran PBNU lainnya ke Jawa Tengah. Di sini ada tiga Cabang NU yang berdiri. Yakni, Semarang (8 Rabiul Awal 1347/24 Agustus 1928), Pekalongan (9 Rabiul Awal 1347/ 25 Agustus 1928) dan Kudus (10 Rabiul Awal 1347/ 26 Agustus 1928).
Selang beberapa hari seusai di Jawa Tengah, rombongan PBNU kembali mendirikan cabang di Gresik (15 Rabiul Awal 1347/ 31 Agustus 1928) dan di Kediri (27 Rabiul Awal 1347/ 12 September 1928). Di masa-masa itu, juga dilaporkan jika sejumlah kiai di Pasuruan berkumpul untuk turut mendirikan Cabang NU pada 2 Rabiul Tsani 1347/ 12 September 1928.
Dalam pemberitaan di SNO, No. 1 Tahun II, Muharram 1347 H, tertulis kabar pendek – dengan bahasa Jawa dan aksara Pegon – demikian:
Jam’iyah Nahdlatul Ulama Pasuruan
Hing nalikane malam Selasa, 2 Rabiul Tsani 1347 sampun dipun wontenaken musyawarah hing dalemipun Kiai Mas Musthofa Kebonagung. Musyawarah hamutus netepi pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Pasuruan kados ing ngandap punika:
KH. Chuzaimi, Tambakan (Rais)
Kiai Abdurrahman, Legi (Wakil Rais)
Kiai Zainal Abidin, Gerogolan (Katib)
Kiai Mas Musthofa, Kebonagung (Mustasyar)
Insyaallah sanes dinten bade dipun wewontenaken majelis musyawarah kang kaping kalih, bade netepaken A’wan-ipun, saha bagian (lajnah Tanfidziyah).
Berita pendirian NU Cabang Pasuruan ini, memiliki keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan tujuh Cabang NU yang telah berdiri sebelumnya. Jika di Jombang hingga di Kediri, musyawarah pembentukan Cabang NU langsung diinisiasi dan dihadiri oleh pengurus teras HBNO. Berbeda dengan di Pasuruan – jika mengacu ke data yang ada – justru diinisiasi secara mandiri oleh para tokoh setempat. Tanpa kehadiran personalia HBNO.
Inisiatif mandiri dari ulama-ulama Pasuruan dalam mendirikan Cabang NU di masa awal, ini menarik untuk dikaji lebih jauh. Belum ada data yang menjelaskan secara spesifik alasan sebenarnya. Namun, jika merujuk pada data-data historis tentang Pasuruan, setidaknya ada sejumlah asumsi yang bisa dikemukakan.
Sebagaimana diketahui, Pasuruan merupakan kawasan di Jawa bagian timur yang memiliki kultur keislaman lebih dahulu jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Seperti kawasan Panarukan (Situbondo), Lumajang, Jember, hingga Banyuwangi. Hal ini dikarenakan daerah Pasuruan terlebih dahulu dikuasai oleh Kerajaan Mataram Islam, tatkala daerah timurnya masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Blambangan yang Hindu. Hal ini mengakibatkan banyaknya pesantren-pesantren yang berakar kuat. Seperti Pesantren Sidogiri yang ditengarai berdiri sejak 1712, Pesantren Canga’an yang juga di sebut berdiri sejak abad 18, yang kemudian melahirkan pesantren-pesantren baru di abad 19 dan awal abad 20.
Kondisi sosio-kultural yang demikian, melahirkan umat Islam yang berpendidikan. Sehingga lebih mudah mengikuti derap zaman. Seperti halnya saat memasuki paruh pertama abad 20 yang memunculkan gairah pergerakan, sejumlah umat Islam di Pasuruan juga tak mau ketinggalan. Berbagai organisasi keislaman pun muncul.
Sependek penelusuran penulis, pada dekade 20-an, tercatat telah berdiri Sarekat Islam Pasuruan. Juga terdapat Sub-Commite Chilafat Pasuruan. Kedua organisasi ini tercatat hadir dalam Kongres Al-Islam Hindia di Surabaya pada 27 Desember 1924 (Bendera Islam, 1 Januari 1924). Pada Kongres Al-Islam Hindia di Surabaya pada 26 Agustus 1925, SI Pasuruan juga dikabarkan turut hadir pula (Bendera Islam, 28 Desember 1925).
Selain itu, juga ada Jam’iyatul Khoir yang diinisiasi oleh KH. Yasin bin Rois, pemuka Pesantren Salafiyah, Pasuruan. Perkumpulan ini, tak hanya melakukan dakwah keislaman, namun juga lebih progresif dengan mendirikan madrasah yang diberi nama Sunniyah (SNO, No. 4 Th. I). Pendirian madrasah ini, tak sekadar sebuah proses dakwah. Namun, sebagai penanda kemajuan zaman di kala saat itu, pendidikan keislaman masih amat terbatas dan dekaden. Jika kita menyimak sejarah pertumbuhan NU, lebih dahulu diawali dengan gerakan Nahdlatul Wathon dan Tasywirul Afkar yang berbasis pada pengembangan madrasah.
Latar yang demikian tersebut, menjadikan Pasuruan sebagai daerah yang memungkinkan untuk merespon dengan cepat terhadap keberadaan Nahdlatul Ulama. Hal ini, misalnya, dengan keterlibatan KH. Mas Nawawi Noerhasan dari Pesantren Sidogiri. Tokoh ini, turut terlibat dalam pendirian Nahdlatul Ulama. Bahkan, dalam catatan KH. Abdul Halim Leuwmunding disebut sebagai Mustasyar HBNO generasi awal (Choriul Anam, 1985: 70). Beliau juga tercatat hadir dalam Muktamar ke-II NU di Surabaya (11-13 September 1927) bersama dengan KH. Abdullah bin Yasin (Kepala Madrasah Sunniyah, Pasuruan) bersama dengan dua ulama lainnya yang tidak tercatat namanyar (SNO, No. 4 Th. I, Hal. 73).
Yang tak kalah menariknya dari keberadaan Cabang NU Pasuruan, selain diinisiasi secara mandiri, adalah kehadirannya di Muktamar III NU di Surabaya (8-10 September 1928) secara kelembagaan. Dalam SNO, No. 3 Tahun II, disebutkan jika pemuka ulama Pasuruan yang hadir di muktamar tersebut adalah KH. Abdurrahman (Legi). Kemudian diikuti oleh sejumlah lembaga, termasuk Cabang NU yang berdiri.
“Semanten ugi rawuhipun para kiai-kiai wonten ingkang atas namine perkempalan-perkempalan kadus perkempalan Jam’iyatul Mudzakirin Jember, utawi Riyadlatu-t-Thalabah Jombang, saha Cabang Nahdlatul Ulama Semarang, Kudus, Pekalongan, Gresik, Kediri. Cabang Nahdlatul Wathon Malang. Cabang Nahdlatul Ulama Pasuruan. Nahdlatul Wathon Sidoarjo, Nashihin Surabaya, Syubbanul Wathon Surabaya……….”
Dari data ini, diketahui jika pada Muktamar III tersebut hanya ada enam cabang NU yang hadir secara kelembagaan. Cabang Jombang dan Surabaya yang telah berdiri sedari awal, tak hadir secara kelembagaaan. Meski sejumlah personalianya turut hadir dalam muktamar tersebut, tapi mereka mengatasnamakan pengurus dari institusi lain. Seperti halnya Riyadlatut Thalabah di Jombang atau Syubbanul Wathon di Surabaya.
Dari sederet fakta di atas, NU Pasuruan memiliki pondasional yang kuat atas keterikatannya dengan Nahdlatul Ulama. Aktif lebih awal dan juga terus menorehkan kiprah yang luar biasa sepanjang perjalananya yang telah menapaki seratus tahun versi hijriyah ini. Meskipun, juga tak sedikit polemik-polemik yang dipantik dari Pasuruan.
Penulis: Ayung Notonegoro
- Penulis: Ayung Notonegoro
Saat ini belum ada komentar