Breaking News
light_mode

THAUN (CERPEN)

  • calendar_month Sen, 8 Mar 2021
  • visibility 36
  • comment 0 komentar

Hawa gerah kian menyiksa, bahkan meski Kiai Marzuki baru saja berwudu. Musim kemarau belum menjelang, hujan kadang-kadang turun menjelang dini hari, namun hawa alam sudah kembali gerah. Rengek para balita di rumah tetangga silih berganti terdengar, pasti mereka tersiksa karena hawa bumi tak senyaman alam Rahim.

Kiai renta itu perlahan bangkit setelah rakaat terahir salat malamnya. Membuka jendela kamar yang lurus menghadap mihrab masjid. Angin yang menelusup terasa hangat, pantas saja ayam di kandang para tetangga riuh hampir sepanjang malam. Rembulan kuning pucat tertusuk ujung runcing kubah masjid, sinar pucatnya membuat lafadz Allah di puncak kubah menjadi siluet.

“Masya Allah, gerah sekali alam ini,” gumam Kiai Marzuki kepada dirinya sendiri. “Mengapa orang-orang shalih kian tak kerasan, mungkin karena alam ini telah begitu renta.” Seekor ayam jantan berkokok entah dimana. Menyadarkan Kiai Marzuki jika dini hari telah menjelang. Ia kemudian mengangkat kedua tangan, melantunkan doa teramat panjang. Dalam doa-doa itu ia memohon keselamatan bagi dirinya, para santri, keluarga serta entah siapa lagi. Kokok ayam kemudian bersahutan, memberi pertanda bahwa ribuan malaikat sedang melesat menuju bumi untuk mengangkat doa-doa, membuka pintu langit serta menabur-naburkan berkah.

Dibukanya pintu kamar khalwat, lalu diseret kaki tuanya menuju pelataran masjid. Hawa gerah kian terasa. Sayyidul istighfar perlahan melantun dari bibir tuanya untuk memohonkan ampun siapa saja. Namun, Kiai Marzuki belum merasa cukup dengan istighfarnya. Ia kemudian melalukan dzikir qolby. Setelah konsentrasi tertata, ia menggantinya dengan istighfar, memohonkan ampunan bagi seluruh umat Kanjeng Nabi di segala penjuru. Tak lama kemudian, di lisan, dada sebelah kiri, dada sebelah kanan, dada tengah, di otak, di jantung serta sebagian pembuluh darahnya beristighfar bersamaan. Memohonkan ampunan bagi alam semesta. Maka, meski Kiai Marzuki masih berdiri dan terjaga, konsentrasi jiwanya naik menuju langit.

Alam kemudian riuh. Rerumputan di sela-sela paving halaman masjid, pohon beringin, belalang dan capung di sela-sela daunnya, bahkan apa saja bertasbih. “Subhanallahi wal hamdulillahi wa la Ilaaha illa Allah, wa Allahu akbar.” Kiai Marzuki terus beristghfar dengan mata setengah terpejam. Gemuruh tasbih alam bersahut-sahutan dengan istighfarnya. Dini hari yang lengang, ternyata begitu semarak. Hanya mata serta telinga tertentu yang bisa melihat serta mendengarnya. Di langit, di antara pasir-pasir bercahaya yang kita namakan bintang, ternyata tersembunyi kerajaan tak terdefinisan dengan bahasa mahluk mana pun. Ke sana kiranya istighfar Kiai Marzuki bermuara.

Kiai Marzuki larut dalam pusaran ketidak berdayaan. Dirinya mengecil, perlahan tenggelam dalam ketiadaan. Musnah dalam ada, ada namun musnah. Ia bahkan tak mampu mengenal lagi siapa dirinya. Hawa gerah tak lagi ia rasakan karena bahkan dirinya pun sirna. Hingga ahirnya, sebuah suara menyapanya entah di alam yang mana.

“Assalamu alaikum,” Kiai Marzuki tak berani menjawab. Samar-samar ia teringat Syaikh Abdul Qadir ketika didatangi iblis yang mengaku sebagai Tuhan.

“Assalamu alaikum,” ulang suara itu, suara seorang lelaki. Kiai Marzuki tetap tak bergeming. Sayang jika kelezatan istighfarnya terputus begitu saja. Namun suara itu tak putus asa.

“Assalamu alaikum, saya Tha’un.” Kiai Marzuki sedikit terusik oleh pengakuan suara itu. Sejenak ragu, namun Kiai Marzuki samar-samar teringat akan keadaan umat saat ini. Suara itu mengaku sebagai Tha’un, sang wabah. Barangkali ia hendak menyampaikan sesuatu yang berguna.

“Wa alaikum salam….” Ahirnya Kiai Marzuki menjawab.

“Benarkah sempayan Tha’un, sang wabah itu?” sambungnya.

“Benar,” jawab sang suara, yang perlahan menjelma sesosok lelaki tinggi besar, berwajah bengis.

“Apa benar sampeyan Tha’un yang oleh orang-orang disebut Corona?”

“Benar.”

“Ada keperluan apa sempeyan menemui saya?”

“Saya diperintah Tuhan untuk menyampaikan beberapa hal.”

“Kenapa harus melaui saya, saya bukan siapa-siapa.”

“Saya sudah berkeliling di negeri ini, tapi tidak menemukan seorang pun yang bisa saya ajak berkomunikasi.”

“Bukankah masih banyak orang yang terjaga?”

“Ya, tapi hanya sampeyan yang sedang benar-benar masih terjaga. Sampeyan terpelecat ke alam kami, karenanya saya bisa menemui sampeyan.”

“Apa pesan yang sampeyan bawa dari sisi Tuhan?” suara Kiai Marzuki bergetar. Air matannya bercucuran, bahkan beberapa tetes mencapai paving halaman masjid.

“Hanya pesan-pesan kuno yang sudah disampaikan oleh Kanjeng Nabi saat itu.”

“Sampaikan kembali kepada kami, biar kami tak semakin lalai.”

“Ya, meski manusia selalu lalai dengan perintah Tuhan, akan saya sampaikan karena memang itu tugas saya.”

“Perlu sampeyan ingat, kami Tha’un, hanyalah permulaan dari teguran Tuhan atas kebejatan manusia saat ini. Masih banyak kawan-kawan kami yang akan membinasakan kalian di belakang hari kelak. Jika manusia semakin bejat, maka kedatangan kami selanjutnya akan dipercepat.”

“Dosa apa yang membuat kalian dikirim untuk membinasakan kami?”

“Karena sudah lengkap dosa yang kalian lakukan. Bahkan agama pun, kalian jual demi kepentingan politik. Kalian, bahkan memerankan Tuhan untuk menghakimi sesama, meneriakkan takbir untuk menakuti hamba Tuhan lainnya. Selain dosa-dosa besar purba, dosa kalian semakin kreatif bahkan tak pernah terpikirkan oleh mahluk selain kalian. ”

“Apa benar kalian ciptaan manusia, bukan murni utusan Tuhan?”

“Saya tidak diperkenankan menjawab pertanyaan semacam itu?”

“Lalu, berapa lama kalian akan menghukum manusia, dan berapa yang akan menjadi korban?”

“Ini juga bukan wewenang saya untuk menjawab.”

Kiai Marzuki berhenti sejenak. Merenungkan kealpaannya menanyakan hal-hal tak patut kepada mahluk itu.

“Manusia sudah keterlaluan. Baru sekarang kami saksikan mahluk sepongah kalian. Bahkan iblis pun, konon hanya melakukan sebuah dosa, tidak seperti kalian yang tak pernah takut kepada Tuhan. Kami dengar, semua mahluk sudah lama memohon izin untuk membinasakan kalian. Laut, gunung, angin, semuanya sudah memohon izin Tuhan untuk melumat kalian. Kalian masih beruntung karena murka Tuhan masih diredam oleh bayi-bayi yang menyusu, binatang-binatang yang mencari makan serta orang-orang tua yang berdoa di ahir malam. Tapi, aku mendengar itu takkan lama lagi.”

“Bagaimana dengan doa dan istighfar ulama-ulama kami?” kejar Kiai Marzuki penuh harap.

“Meski tak tahu pasti, konon doa-doa itu tak pernah sampai ke langit.”

“Bukankah para wali masih ada di antara kami?”

“Tuhan tak mengizinkan mereka untuk mendoakan kalian.” Sontak Kiai Marzuki putus asa mendengar ucapan mahluk itu. Doa para wali, kekasih Tuhan itu, hanya doa mereka satu-satunya yang masih didengar. Jika mereka telah dilarang mendoakan keselamatan manusia, pertanda huru-hara besar takkan lama lagi akan terjadi.

“Bagaimana dengan para balita?”

“Ya, hanya mereka harapan kalian. Tapi kalian harus tahu, para balita pun kini dipercepat untuk menjadi dewasa. Mereka dipercepat mencapai aqil baligh dan melakukan dosa sehingga doa-doa mereka tak lagi diterima.”

“Lalu bagaimana saran sampeyan?”

“Hentikan! Hentikan dosa-dosa besar dengan segera. Dan jangan berdoa selain istighfar dan shalawat.”

Lengang. Kiai Marzuki tak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Malam kembali terasa gerah entah mengapa.

“Seseorang harus menghentikan ulah keji kalian. Jika tidak, maka kami, para tentara Tuhan yang akan menasehati kalian.” Kiai Marzuki hanya terpana ketika sosok itu pecah menjadi butiran debu. Angin lembut meniupnya hingga butiran-butiran debu itu lalu merayap di atas paving, beterbangan menuju rumah-rumah penduduk bahkan melayang-layang laksana butiran salju tersapu badai.

“Saya pamit, masih banyak tugas yang harus kami lakukan.”

“Assalamu alaikum.” Kiai Marzuki hanya mampu menjawab dengan gerakan hati.

Penulis: Abdur Rozaq, Alumni PMII, Pemilik IBRA FATIH 18 Channel

Editor: Makhfud Syawaludin

  • Penulis: NU Pasuruan

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Innalillahi, Ustadz Khudlori Nachrowi Aktifis LDNU Pasuruan Wafat

    Innalillahi, Ustadz Khudlori Nachrowi Aktifis LDNU Pasuruan Wafat

    • calendar_month Sab, 15 Jan 2022
    • visibility 81
    • 0Komentar

    Bangil, NU PasuruanKabar duka kembali datang dari Kabupaten Pasuruan. Musababnya, Ustadz H Khudlori Nachrowi, Wakil Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan wafat pada Jumat (14/01/2022) malam. “Pukul 11.00 WIB pagi tadi dikebumikan. Kami sangat kehilangan,” ujar Ustadz Subhani, Wakil sekretaris PCNU Kabupaten Pasuruan, kepada NU Pasuruan, Sabtu (15/01/2022). […]

  • KH Imron Mutamakkin Ulas Perkembangan Batshul Masail Zaman Dulu dan Sekarang

    KH Imron Mutamakkin Ulas Perkembangan Batshul Masail Zaman Dulu dan Sekarang

    • calendar_month Jum, 28 Jun 2024
    • visibility 274
    • 0Komentar

    Pohjentrek, NU Pasuruan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan KH Imron Mutamakkin mengatakan perkembangan batshul masail tidak luput dari perkembangan zaman kalau dulu yang di perdebatkan shahih atau tidak sekarang boleh apa tidak. Hal itu diungkapkan pada saat acara batshul masail di Hotel Royal Sanyur, Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan, Selasa – Rabu (25-26/06/2024). […]

  • Mulai Hari Ini, PCNU Kabupaten Pasuruan Laksanakan Safari Ramadhan Keliling MWCNU

    Mulai Hari Ini, PCNU Kabupaten Pasuruan Laksanakan Safari Ramadhan Keliling MWCNU

    • calendar_month Rab, 6 Apr 2022
    • visibility 35
    • 0Komentar

    Pohjentrek, NU Pasuruan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan menggelar Safari Ramadhan tahun 1443 H/2022 M bertempat di salah satu Masjid di 19 wilayah Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) setempat. Dimulai dari tanggal 6 April hingga 12 April. Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Pasuruan Ahmad Subhani menyampaikan, Safari Ramadhan dilaksanakan dengan shalat tarawih berjamaah […]

  • Terpilih Secara Aklamasi, Ini Visi Misi Saiful Akbar Sebagai Ketua PC IPNU Pasuruan

    Terpilih Secara Aklamasi, Ini Visi Misi Saiful Akbar Sebagai Ketua PC IPNU Pasuruan

    • calendar_month Jum, 25 Okt 2024
    • visibility 337
    • 0Komentar

    Pohjentrek, NU Pasuruan Saiful Akbar terpilih sebagai Ketua Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kabupaten Pasuruan masa khidmat 2024-2026. ia terpilih secara aklamasi pada saat Konferensi Cabang (Konfercab) ke XX di Aula KH Ahmad Djufri, PCNU Kabupaten Pasuruan (23-24/10/2024). Alumni Institut Teknologi Sains Nahdlatul Ulama (ITSNU) Pasuruan tersebut memiliki visi mendigdayakan IPNU Kabupaten […]

  • Kiai Muhib Kuliah di Perguruan Tinggi NU Niatkan Khidmah, Raih Ilmu

    Kiai Muhib Kuliah di Perguruan Tinggi NU Niatkan Khidmah, Raih Ilmu

    • calendar_month Kam, 30 Jan 2025
    • visibility 199
    • 0Komentar

    Pohjentrek, NU Pasuruan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muhibul Aman Aly mengatakan menempuh pendidikan di perguruan tinggi, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), bukan sekadar mencari gelar akademik. Lebih dari itu, ada dua niat utama yang seharusnya menjadi landasan setiap mahasiswa. Hal itu diungkapkan pada saat UNU Pasuruan bersholawat di halaman perkantoran […]

  • Puluhan Pelajar NU Lumbang Ikuti Seminar Jurnalisme Digital

    Puluhan Pelajar NU Lumbang Ikuti Seminar Jurnalisme Digital

    • calendar_month Sab, 26 Feb 2022
    • visibility 41
    • 0Komentar

    Pimpinan Anak Cabang Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PAC ISNU) Kecamatan Lumbang menggelar seminar Jurnalisme Digital, di Aula SMA Maarif Nahdlatul Ulama Miftahul Ulum Cukurguling Lumbang, Sabtu siang (26 Februari 2022) Seminar ini diikuti 40 Pelajar Ma’arif NU yang terdiri dari kelas 10, 11 dan tingkat 12. Selain dalam rangka memperingati hari lahir Nahdlatul Ulama yang […]

expand_less

Eksplorasi konten lain dari PCNU Kab. Pasuruan

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca