Breaking News
light_mode

THAUN (CERPEN)

  • calendar_month Sen, 8 Mar 2021
  • visibility 135
  • comment 0 komentar

Hawa gerah kian menyiksa, bahkan meski Kiai Marzuki baru saja berwudu. Musim kemarau belum menjelang, hujan kadang-kadang turun menjelang dini hari, namun hawa alam sudah kembali gerah. Rengek para balita di rumah tetangga silih berganti terdengar, pasti mereka tersiksa karena hawa bumi tak senyaman alam Rahim.

Kiai renta itu perlahan bangkit setelah rakaat terahir salat malamnya. Membuka jendela kamar yang lurus menghadap mihrab masjid. Angin yang menelusup terasa hangat, pantas saja ayam di kandang para tetangga riuh hampir sepanjang malam. Rembulan kuning pucat tertusuk ujung runcing kubah masjid, sinar pucatnya membuat lafadz Allah di puncak kubah menjadi siluet.

“Masya Allah, gerah sekali alam ini,” gumam Kiai Marzuki kepada dirinya sendiri. “Mengapa orang-orang shalih kian tak kerasan, mungkin karena alam ini telah begitu renta.” Seekor ayam jantan berkokok entah dimana. Menyadarkan Kiai Marzuki jika dini hari telah menjelang. Ia kemudian mengangkat kedua tangan, melantunkan doa teramat panjang. Dalam doa-doa itu ia memohon keselamatan bagi dirinya, para santri, keluarga serta entah siapa lagi. Kokok ayam kemudian bersahutan, memberi pertanda bahwa ribuan malaikat sedang melesat menuju bumi untuk mengangkat doa-doa, membuka pintu langit serta menabur-naburkan berkah.

Dibukanya pintu kamar khalwat, lalu diseret kaki tuanya menuju pelataran masjid. Hawa gerah kian terasa. Sayyidul istighfar perlahan melantun dari bibir tuanya untuk memohonkan ampun siapa saja. Namun, Kiai Marzuki belum merasa cukup dengan istighfarnya. Ia kemudian melalukan dzikir qolby. Setelah konsentrasi tertata, ia menggantinya dengan istighfar, memohonkan ampunan bagi seluruh umat Kanjeng Nabi di segala penjuru. Tak lama kemudian, di lisan, dada sebelah kiri, dada sebelah kanan, dada tengah, di otak, di jantung serta sebagian pembuluh darahnya beristighfar bersamaan. Memohonkan ampunan bagi alam semesta. Maka, meski Kiai Marzuki masih berdiri dan terjaga, konsentrasi jiwanya naik menuju langit.

Alam kemudian riuh. Rerumputan di sela-sela paving halaman masjid, pohon beringin, belalang dan capung di sela-sela daunnya, bahkan apa saja bertasbih. “Subhanallahi wal hamdulillahi wa la Ilaaha illa Allah, wa Allahu akbar.” Kiai Marzuki terus beristghfar dengan mata setengah terpejam. Gemuruh tasbih alam bersahut-sahutan dengan istighfarnya. Dini hari yang lengang, ternyata begitu semarak. Hanya mata serta telinga tertentu yang bisa melihat serta mendengarnya. Di langit, di antara pasir-pasir bercahaya yang kita namakan bintang, ternyata tersembunyi kerajaan tak terdefinisan dengan bahasa mahluk mana pun. Ke sana kiranya istighfar Kiai Marzuki bermuara.

Kiai Marzuki larut dalam pusaran ketidak berdayaan. Dirinya mengecil, perlahan tenggelam dalam ketiadaan. Musnah dalam ada, ada namun musnah. Ia bahkan tak mampu mengenal lagi siapa dirinya. Hawa gerah tak lagi ia rasakan karena bahkan dirinya pun sirna. Hingga ahirnya, sebuah suara menyapanya entah di alam yang mana.

“Assalamu alaikum,” Kiai Marzuki tak berani menjawab. Samar-samar ia teringat Syaikh Abdul Qadir ketika didatangi iblis yang mengaku sebagai Tuhan.

“Assalamu alaikum,” ulang suara itu, suara seorang lelaki. Kiai Marzuki tetap tak bergeming. Sayang jika kelezatan istighfarnya terputus begitu saja. Namun suara itu tak putus asa.

“Assalamu alaikum, saya Tha’un.” Kiai Marzuki sedikit terusik oleh pengakuan suara itu. Sejenak ragu, namun Kiai Marzuki samar-samar teringat akan keadaan umat saat ini. Suara itu mengaku sebagai Tha’un, sang wabah. Barangkali ia hendak menyampaikan sesuatu yang berguna.

“Wa alaikum salam….” Ahirnya Kiai Marzuki menjawab.

“Benarkah sempayan Tha’un, sang wabah itu?” sambungnya.

“Benar,” jawab sang suara, yang perlahan menjelma sesosok lelaki tinggi besar, berwajah bengis.

“Apa benar sampeyan Tha’un yang oleh orang-orang disebut Corona?”

“Benar.”

“Ada keperluan apa sempeyan menemui saya?”

“Saya diperintah Tuhan untuk menyampaikan beberapa hal.”

“Kenapa harus melaui saya, saya bukan siapa-siapa.”

“Saya sudah berkeliling di negeri ini, tapi tidak menemukan seorang pun yang bisa saya ajak berkomunikasi.”

“Bukankah masih banyak orang yang terjaga?”

“Ya, tapi hanya sampeyan yang sedang benar-benar masih terjaga. Sampeyan terpelecat ke alam kami, karenanya saya bisa menemui sampeyan.”

“Apa pesan yang sampeyan bawa dari sisi Tuhan?” suara Kiai Marzuki bergetar. Air matannya bercucuran, bahkan beberapa tetes mencapai paving halaman masjid.

“Hanya pesan-pesan kuno yang sudah disampaikan oleh Kanjeng Nabi saat itu.”

“Sampaikan kembali kepada kami, biar kami tak semakin lalai.”

“Ya, meski manusia selalu lalai dengan perintah Tuhan, akan saya sampaikan karena memang itu tugas saya.”

“Perlu sampeyan ingat, kami Tha’un, hanyalah permulaan dari teguran Tuhan atas kebejatan manusia saat ini. Masih banyak kawan-kawan kami yang akan membinasakan kalian di belakang hari kelak. Jika manusia semakin bejat, maka kedatangan kami selanjutnya akan dipercepat.”

“Dosa apa yang membuat kalian dikirim untuk membinasakan kami?”

“Karena sudah lengkap dosa yang kalian lakukan. Bahkan agama pun, kalian jual demi kepentingan politik. Kalian, bahkan memerankan Tuhan untuk menghakimi sesama, meneriakkan takbir untuk menakuti hamba Tuhan lainnya. Selain dosa-dosa besar purba, dosa kalian semakin kreatif bahkan tak pernah terpikirkan oleh mahluk selain kalian. ”

“Apa benar kalian ciptaan manusia, bukan murni utusan Tuhan?”

“Saya tidak diperkenankan menjawab pertanyaan semacam itu?”

“Lalu, berapa lama kalian akan menghukum manusia, dan berapa yang akan menjadi korban?”

“Ini juga bukan wewenang saya untuk menjawab.”

Kiai Marzuki berhenti sejenak. Merenungkan kealpaannya menanyakan hal-hal tak patut kepada mahluk itu.

“Manusia sudah keterlaluan. Baru sekarang kami saksikan mahluk sepongah kalian. Bahkan iblis pun, konon hanya melakukan sebuah dosa, tidak seperti kalian yang tak pernah takut kepada Tuhan. Kami dengar, semua mahluk sudah lama memohon izin untuk membinasakan kalian. Laut, gunung, angin, semuanya sudah memohon izin Tuhan untuk melumat kalian. Kalian masih beruntung karena murka Tuhan masih diredam oleh bayi-bayi yang menyusu, binatang-binatang yang mencari makan serta orang-orang tua yang berdoa di ahir malam. Tapi, aku mendengar itu takkan lama lagi.”

“Bagaimana dengan doa dan istighfar ulama-ulama kami?” kejar Kiai Marzuki penuh harap.

“Meski tak tahu pasti, konon doa-doa itu tak pernah sampai ke langit.”

“Bukankah para wali masih ada di antara kami?”

“Tuhan tak mengizinkan mereka untuk mendoakan kalian.” Sontak Kiai Marzuki putus asa mendengar ucapan mahluk itu. Doa para wali, kekasih Tuhan itu, hanya doa mereka satu-satunya yang masih didengar. Jika mereka telah dilarang mendoakan keselamatan manusia, pertanda huru-hara besar takkan lama lagi akan terjadi.

“Bagaimana dengan para balita?”

“Ya, hanya mereka harapan kalian. Tapi kalian harus tahu, para balita pun kini dipercepat untuk menjadi dewasa. Mereka dipercepat mencapai aqil baligh dan melakukan dosa sehingga doa-doa mereka tak lagi diterima.”

“Lalu bagaimana saran sampeyan?”

“Hentikan! Hentikan dosa-dosa besar dengan segera. Dan jangan berdoa selain istighfar dan shalawat.”

Lengang. Kiai Marzuki tak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Malam kembali terasa gerah entah mengapa.

“Seseorang harus menghentikan ulah keji kalian. Jika tidak, maka kami, para tentara Tuhan yang akan menasehati kalian.” Kiai Marzuki hanya terpana ketika sosok itu pecah menjadi butiran debu. Angin lembut meniupnya hingga butiran-butiran debu itu lalu merayap di atas paving, beterbangan menuju rumah-rumah penduduk bahkan melayang-layang laksana butiran salju tersapu badai.

“Saya pamit, masih banyak tugas yang harus kami lakukan.”

“Assalamu alaikum.” Kiai Marzuki hanya mampu menjawab dengan gerakan hati.

Penulis: Abdur Rozaq, Alumni PMII, Pemilik IBRA FATIH 18 Channel

Editor: Makhfud Syawaludin

  • Penulis: NU Pasuruan

Komentar (0)

Saat ini belum ada komentar

Silahkan tulis komentar Anda

Email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom yang bertanda bintang (*) wajib diisi

Rekomendasi Untuk Anda

  • Meriahkan Tradisi Tahun Baru Islam, TPQ Al-Karamah Nguling Gelar Pengajian Umum

    • calendar_month Sen, 17 Sep 2018
    • visibility 127
    • 0Komentar

    Dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1440 Hijriyah dan Khotmil Qur’an yang kedua, lembaga Taman Pendidikan al-Qur’an Al- Kharomah selenggarakan Pengajian Umum, Sabtu, (15/9) desa Sedarum kecamatan Nguling. Kegiatan tersebut, dihadiri oleh KH. Musthofa Hasan Azkiya dari Probolinggo, KH. Nahdhor Sanai dari Pasuruan, dan Habib Ahmad bin Abu Bakar al-Muhdlor dari Probolinggo. Dalam ceramahnya, KH. […]

  • 200 Pendekar Pagar Nusa Ikuti Latgab di Pantai Wisata Karang Hitam Lekok

    200 Pendekar Pagar Nusa Ikuti Latgab di Pantai Wisata Karang Hitam Lekok

    • calendar_month Sab, 17 Okt 2020
    • visibility 273
    • 0Komentar

    Pagar Nahdlatul Ulama dan Bangsa (Pagar Nusa) merupakan Badan Otonom (Banom) Nahdlatul Ulama (NU) yang bertugas membentengi Kader dan kyai-kyai Nahdlatul Ulama (NU) serta Bangsa Indonesia dari segala bentuk yang merongrong kedaulatan Republik Indonesia dengan keterampilan khusus berupa pencak silat. Adapun pencak silat yang dipelajari tersebut merupakan hasil pengembangkan dan pelestarikan pencak silat warisan wali […]

  • Meneguhkan Kontribusi Ulama dalam Perjuangan Bangsa, Lakpesdam NU Pasuruan Gelar Workhsop

    • calendar_month Ming, 4 Agu 2019
    • visibility 126
    • 0Komentar

    Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan gelar Workshop Penulisan Sejarah dengan tema “Ulama & Pesantren Pasuruan dalam Perjuangan Bangsa” bertempat di Ruang Rapat Gedung Graha PCNU Kabupaten Pasuruan, Sabtu (3/8/2019). KH. Imron Mutamakkin, Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Pasuruan, menjelaskan bahwa selain meneguhkan peran ulama NU dalam […]

  • Ada Yang Istimewa di Kalender PCNU Kabupaten Pasuruan Tahun 2023. Ingin Tahu? Silahkan Unduh

    Ada Yang Istimewa di Kalender PCNU Kabupaten Pasuruan Tahun 2023. Ingin Tahu? Silahkan Unduh

    • calendar_month Jum, 27 Jan 2023
    • visibility 212
    • 0Komentar

    Pohjentrek, NU PasuruanSetiap tahun, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan menerbitkan kalender. Untuk Kalender Tahun 2023, disusun secara khusus untuk menyambut 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU). Wakil Sekretaris PCNU, Ustad Subadar menyampaikan, Kalender PCNU Kabupaten Pasuruan Tahun 2023 dirancang untuk menyambut 100 Tahun NU atau 1 Abad NU. “Dengan menampilkan foto Rais Syuriyah PCNU […]

  • Gus Nasih Ceritakan Dipisahnya IPNU IPPNU Pasuruan

    Gus Nasih Ceritakan Dipisahnya IPNU IPPNU Pasuruan

    • calendar_month Sel, 14 Nov 2023
    • visibility 276
    • 0Komentar

    Prigen, NU Pasuruan Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pasuruan Gus Nasih Nashor mengatakan pengkaderan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) dipisah pada zaman almagfurlah Rois Syuriyah KH Abdul Ghofur dan kembali di tegaskan pada zaman almagfurlah KH Muzakki Birul Alim. “Gagasan memisahkan IPNU dan IPPNU Kabupaten […]

  • LFNU Pasuruan: Hilal Tidak Terlihat, Awal Ramadhan Ikut PBNU! Hari Selasa

    LFNU Pasuruan: Hilal Tidak Terlihat, Awal Ramadhan Ikut PBNU! Hari Selasa

    • calendar_month Ming, 10 Mar 2024
    • visibility 237
    • 0Komentar

    Bangil, NU PasuruanHilal tidak terlihat. Hal itu berdasarkan hasil Rukyatul Hilal yang dilaksanakan olehPengurus Cabang (PC) Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) Kabupaten Pasuruan di Gedung Mabna Abuya Hasan Lantai 12 Pondok Pesantren Darullughoh Wadda’wah (Dalwa), Kecamatan Bangil, Ahad (10/03/2024). “Dari beberapa metode yang kami terapkan,  hilal tidak terlihat. Maka menunggu hasil sidang yang dilakukan oleh Pengurus Besar […]

expand_less

Eksplorasi konten lain dari PCNU Kab. Pasuruan

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca